Thursday, March 17, 2011

Say Yes To Gambaru

Oleh Rouli Esther Pasaribu pada 14 Maret 2011 jam 12:02

Terus terang aja, satu kata yang bener2 bikin muak jiwa raga setelah
tiba di Jepang dua tahun lalu adalah : GAMBARU alias berjuang
mati-matian sampai titik darah penghabisan. Muak abis, sumpah, karena
tiap kali bimbingan sama prof, kata-kata penutup selalu : motto
gambattekudasai (ayo berjuang lebih lagi), taihen dakedo, isshoni
gambarimashoo (saya tau ini sulit, tapi ayo berjuang bersama-sama),
motto motto kenkyuu shitekudasai (ayo bikin penelitian lebih dan
lebih lagi). Sampai gw rasanya pingin ngomong, apa ngga ada kosa kata
lain selain GAMBARU? apaan kek gitu, yang penting bukan gambaru.

Gam baru itu bukan hanya sekadar berjuang2 cemen gitu2 aja yang kalo
males atau ada banyak rintangan, ya udahlah ya...berhenti aja. Menurut
kamus bahasa jepang sih, gambaru itu artinya : "doko made mo nintai
shite doryoku suru" (bertahan sampai kemana pun juga dan berusaha
abis-abisan) Gambaru itu sendiri, terdiri dari dua karakter yaitu
karakter "keras" dan "mengencangkan". Jadi image yang bisa didapat
dari paduan karakter ini adalah "mau sesusah apapun itu persoalan yang
dihadapi, kita mesti keras dan terus mengencangkan diri sendiri, agar
kita bisa menang atas persoalan itu" (maksudnya jangan manja, tapi
anggap semua persoalan itu adalah sebuah kewajaran dalam hidup,
namanya hidup emang pada dasarnya susah, jadi jangan ngarep gampang,
persoalan hidup hanya bisa dihadapi dengan gambaru, titik.).

Terus terang aja, dua tahun gw di jepang, dua tahun juga gw ngga
ngerti, kenapa orang2 jepang ini menjadikan gambaru sebagai falsafah
hidupnya. Bahkan anak umur 3 tahun kayak Joanna pun udah disuruh
gambaru di sekolahnya, kayak pake baju di musim dingin mesti yang
tipis2 biar ngga manja terhadap cuaca dingin, di dalam sekolah ngga
boleh pakai kaos kaki karena kalo telapak kaki langsung kena lantai
itu baik untuk kesehatan, sakit2 dikit cuma ingus meler2 atau demam 37
derajat mah ngga usah bolos sekolah, tetap dihimbau masuk dari pagi
sampai sore, dengan alasan, anak akan kuat menghadapi penyakit jika ia
relawan penyakitnya itu sendiri.

Akibatnya, kalo naik sepeda di tanjakan sambil bonceng Joanna, dan gw
ngos2an kecapean, otomatis Joanna ngomong : Mama, gambare! mama
faitoooo! (mama ayo berjuang, mama ayo fight!).

Pokoknya jangan manja sama masalah deh, gambaru sampe titik darah
penghabisan it's a must!

Gw bener2 baru mulai sedikit mengerti mengapa gambaru ini penting
banget dalam hidup, adalah setelah terjadi tsunami dan gempa bumi
dengan kekuatan 9.0 di jepang bagian timur. Gw tau, bencana alam di
indonesia seperti tsunami di aceh, nias dan sekitarnya, gempa bumi di
padang, letusan gunung merapi....juga bukanlah hal yang gampang untuk
dihadapi. Tapi, tsunami dan gempa bumi di jepang kali ini, jauuuuuh
lebih parah dari semuanya itu. Bahkan, ini adalah gempa bumi dan
tsunami terparah dan terbesar di dunia. Wajaaaaaaar banget kalo
kemudian pemerintah dan masyarakat jepang panik kebingungan karena
bencana ini. Wajaaaaar banget kalo mereka kemudian mulai ngerasa
galau, nangis2, ga tau mesti ngapain.

Bahkan untuk skala bencana sebesar ini, rasanya bisa "dimaafkan" jika
stasiun-stasiun TV memasang sedikit musik latar ala lagu-lagu ebiet
dan membuat video klip tangisan anak negeri yang berisi wajah-wajah
korban bencana yang penuh kepiluan dan tatapan kosong tak punya
harapan. bagaimana tidak, tsunami dan gempa bumi ini benar-benar
menyapu habis seluruh kehidupan yang mereka miliki. Sangat wajar jika
kemudian mereka tidak punya harapan.

Tapi apa yang terjadi pasca bencana mengerikan ini? Dari hari pertama
bencana, gw nyetel TV dan nungguin lagu-lagu ala ebiet diputar di
stasiun TV. Nyari-nyari juga di mana rekening dompet bencana alam.
Video klip tangisan anak negeri juga gw tunggu2in. Tiga unsur itu
(lagu ala ebiet, rekening dompet bencana, video klip tangisan anak
negeri), sama sekali ngga disiarkan di TV.

Jadi yang ada apaan dong? Ini yang gw lihat di stasiun2 TV :

1. Peringatan pemerintah agar setiap warga tetap waspada

2. Himbauan pemerintah agar seluruh warga jepang bahu membahu
menghadapi bencana (termasuk permintaan untuk menghemat listrik agar
warga di wilayah tokyo dan tohoku ngga lama-lama terkena mati lampu)

3. Permintaan maaf dari pemerintah karena terpaksa harus melakukan
pemadaman listrik terencana

4. Tips-tips menghadapi bencana alam

5. nomor telepon call centre bencana alam yang bisa dihubungi 24 jam

6. Pengiriman tim SAR dari setiap perfektur menuju daerah-daerah yang
terkena bencana

7. Potret warga dan pemerintah yang bahu membahu menyelamatkan warga
yang terkena bencana (sumpah sigap banget, nyawa di jepang benar-benar
bernilai banget harganya)

8. Pengobaran semangat dari pemerintah yang dibawakan dengan gaya
tenang dan tidak emosional : mari berjuang sama-sama menghadapi
bencana, mari kita hadapi (government official pake kata norikoeru,
yang kalo diterjemahkan secara harafiah : menaiki dan melewati) dengan
sepenuh hati

9. Potret para warga yang terkena bencana, yang saling menyemangati
:*ada yang nyari istrinya, belum ketemu2, mukanya udah galau banget,
tapi tetap tenang dan ngga emosional, disemangati nenek2 yang ada di
tempat pengungsian : gambatte sagasoo! kitto mitsukaru kara.
Akiramenai de (ayo kita berjuang cari istri kamu. Pasti ketemu. Jangan
menyerah)*

Tulisan di twitter : ini gempa terbesar sepanjang sejarah. Karena itu,
kita mesti memberikan usaha dan cinta terbesar untuk dapat melewati
bencana ini; Gelap sekali di Sendai, lalu ada satu titik bintang
terlihat terang. Itu bintang yang sangat indah. Warga Sendai, lihatlah
ke atas.

Sebagai orang Indonesia yang tidak pernah melihat cara penanganan
bencana ala gambaru kayak gini, gw bener-bener merasa malu dan di saat
yang bersamaan : kagum dan hormat banget sama warga dan pemerintah
Jepang. Ini negeri yang luar biasa, negeri yang sumber daya alamnya
terbatas banget, negeri yang alamnya keras, tapi bisa maju luar biasa
dan punya mental sekuat baja, karena : falsafah gambaru-nya itu. Bisa
dibilang, orang-orang jepang ini ngga punya apa-apa selain GAMBARU.
Dan, gambaru udah lebih dari cukup untuk menghadapi segala persoalan
dalam hidup.

Bener banget, kita mesti berdoa, kita mesti pasrah sama Tuhan. Hanya,
mental yang apa-apa "nyalahin" Tuhan, bilang2 ini semua kehendakNya, Semua rencanaNya, Tuhan marah pada umatNya, Tuhan marah melalui alam maka tanyalah pada
rumput yang bergoyang.....

I guarantee you 100 percent, selama masih mental ini yang berdiam di
dalam diri kita, sampai kiamat sekalipun, gw rasa bangsa kita ngga
akan bisa maju. kalau ditilik lebih jauh, "menyalahkan" Tuhan atas
semua bencana dan persoalan hidup, sebenarnya adalah kata lain dari
ngga berani bertanggungjawab terhadap hidup yang dianugerahkan Sang
Pemilik Hidup. Jika diperjelas lagi, ngga berani bertanggungjawab itu
maksudnya : lari dari masalah, ngga mau ngadepin masalah, main
salah2an, ngga mau berjuang dan baru ketemu sedikit rintangan aja udah
nangis manja.

Kira-kira setahun yang lalu, ada sanak keluarga yang mempertanyakan,
untuk apa gw menuntut ilmu di Jepang. Ngapain ke Jepang, ngga ada
gunanya, kalo mau S2 atau S3 mah, ya di eropa atau amerika sekalian,
kalo di Jepang mah nanggung. Begitulah kata beliau.

Sempat terpikir juga akan perkataannya itu, iya ya, kalo mau go
international ya mestinya ke amrik atau eropa sekalian, bukannya
jepang ini. Toh sama-sama asia, negeri kecil pula dan kalo ga bisa
bahasa jepang, ngga akan bisa survive di sini. Sampai sempat nyesal
juga,kenapa gw ngedaleminnya sastra jepang dan bukan sastra inggris
atau sastra barat lainnya.

Tapi sekarang, gw bisa bilang dengan yakin sama sanak keluarga yang
menyatakan ngga ada gunanya gw nuntut ilmu di jepang. Pernyataan
beliau adalah salah sepenuhnya. Mental gambaru itu yang paling megang
adalah jepang. Dan menjadikan mental gambaru sebagai way of life
adalah lebih berharga daripada go international dan sejenisnya itu.
Benar, sastra jepang, gender dan sejenisnya itu, bisa dipelajari di
mana saja. Tapi, semangat juang dan mental untuk tetap berjuang
abis-abisan biar udah ngga ada jalan, gw rasa, salah satu tempat yang
ideal untuk memahami semua itu adalah di jepang. Dan gw bersyukur ada
di sini, saat ini. Maka, mulai hari ini, jika gw mendengar kata
gambaru, entah di kampus, di mall, di iklan-iklan TV, di supermarket,
di sekolahnya joanna atau di mana pun itu, gw tidak akan lagi merasa
muak jiwa raga.

Sebaliknya, gw akan berucap dengan rendah hati : Indonesia jin no
watashi ni gambaru no seishin to imi wo oshietekudasatte, kokoro kara
kansha itashimasu. Nihon jin no minasan no yoo ni, gambaru seishin wo
mi ni tsukeraremasu yoo ni, hibi gambatteikitai to omoimasu. (Saya
ucapkan terima kasih dari dasar hati saya karena telah mengajarkan
arti dan mental gambaru bagi saya, seorang Indonesia. Saya akan
berjuang tiap hari, agar mental gambaru merasuk dalam diri saya,
seperti kalian semuanya, orang-orang Jepang).

Say YES to GAMBARU!